Untuk yang Terlalu Sibuk

Saya menulis ini ketika kamar saya terasa lebih dingin daripada biasanya. Ketika habis menerima seorang teman yang datang ke rumah, malam-malam begini, hanya untuk meminta file pekerjaan dari laptop tua saya, dia tak menggubris imbauan saya untuk meminta ke saya esok hari ketika dikampus. Betapa gigih setiap orang berusaha untuk mengejar dunia, tanpa pernah tahu yang tertinggal di rumah; keluarganya.

Saya terpikir untuk menulis ini agar saya dan kamu yang sedang membaca ini, tidak akan pernah menyesal karena melewati segalanya yang harusnya tak pantas untuk dilewatkan. Saya memang cukup keras kepala, saya tidak akan keluar kamar sampai tugas saya selesai. Sesekali saya keluar untuk mengisi kembali secangkir kopi yang habis di gelas saya. Saya juga tak peduli betapa berantakannya kamar saya, betapa buku-buku berserakan di sana sini, kertas-kertas yang terbaring tidak pada tempatnya, alat-alat tulis yang tergeletak tak berdaya, tas serta pakaian yang diletakan tidak pada tempatnya, dan debu-debu yang menempel di lantai; yang tidak saya sapu selama dua hari. Saat sedang menyelesaikan tugas, saya egois. Saat terlalu asyik dengan dunia saya, saya tak peduli pada beberapa hal. Mungkin, ini juga yang kita lakukan ketika terlalu asyik dengan pekerjaan, terlalu asyik melakukan yang kita pikir menyenangkan.

Suatu malam, saya sedang menyelesaikan tugas kuliah akhir semester. Saya sengaja menyelesaikan tugas itu malam hari agar saya lebih konsentrasi dalam mengerjakannya. Awalnya, saya sendirian di kamar, lalu keponakan saya masuk ke kamar saya. Laki-laki yang masih duduk dibangku SD kelas 3. Memang setiap akhir pekan, keponakan saya mampir kerumah, karena disini adalah sebagai rumah nenek. Sepekan sekali pasti selalu menyempatkan waktu untuk sekedar mampir atau bahkan menginap semalam. Sebagai anak kecil, memang sudah selayaknya dia masih minta ditemani tidur dikamar. Apalagi kamar keponakan saya dulu adalah kamar yang sekarang saya tempati. 

Saya menolak untuk diajak keluar kamar dan adik saya duduk di tempat tidur saya sambil mengajak saya bicara. Sesekali saya menjawab pertanyaannya, sesekali saya diam dan hanya suara ketikan laptop serta suara pertanyaan adik saya yang tidak menimbulkan jawab. Saat menulis, saya tidak menengok ke arah adik saya barang sedetikpun. Saya juga tidak bertanya-tanya dalam hati ketika adik saya berhenti berbicara. Beberapa jam kemudian, revisi tugas saya selesai. Saya menutup laptop dan meregangkan badan. Tubuh saya berbalik dan menatap adik saya yang sudah tertidur pulas di tempat tidur saya. Saya menganggap hal itu sangat biasa. Saya membangunkan dia dan mengajak dia ke kamarnya. Saya menemani dia tidur di kamar sebelah. Sangat biasa.

Minggu berikutnya, entah mengapa malam itu saya ingin membenahi tulisan-tulisan diblog saya, memperbaiki kalimat-kalimat yang bagi saya kurang pas, padahal tulisan tersebut sudah saya posting diblog saya beberapa minggu yang lalu. Saya memutuskan untuk mengerjakan tulisan saya di kamar sebelah, yang biasa dipakai menginap keponakan saya. Saya memboyong laptop beserta charge-nya ke kamar keponakan saya. Pukul 21.00 malam, keponakan saya bercerita ini itu dan saya tak mampu lagi mendengar celotehannya. Sontak, saya berdiri dari tempat duduk dan mengambil buku Komik Kambing Jantan, buku yang sebenarnya sudah pernah dibaca keponakan saya– beberapa bulan yang lalu setelah saya membeli buku itu. Saya menyuruh keponakan saya kembali membaca buku itu dan berhenti menganggu saya dengan celotehannya. Oke. Itu cukup membuat dia diam dan saya tenang merevisi tulisan.

Seperti biasanya, saya menulis tanpa memerhatikan keadaan sekeliling saya dan diam yang ditunjukkan adik saya tidak juga menimbulkan tanya. Pukul 01.30 dini hari, saya selesai merevisi tulisan-tulisan diblog saya. Saya mematikan laptop dan meregangkan badan. Saya memutuskan untuk segera tidur, ketika berjalan menuju tempat tidur; mata saya diberi pemandangan dengan adik saya yang sudah tertidur pulas dengan buku Komik Kambing Jantan di jemarinya. Saya menghela napas dan tidak tahu kenapa saat itu saya ingin menangis. 

Kadang, manusia begitu egois, terlalu tak peduli, pada orang yang setia menunggunya; menunggu untuk ditemani dan diajak bicara. Kadang, kita begitu tak mau tahu, pada yang sabar menunggu.



I. Alif Zidan

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

0 comments:

Post a Comment

Contact Form